Bukalapak, salah satu e-commerce terbesar di Indonesia, baru-baru ini menggemparkan dunia maya. Per 7 Januari 2025, mereka mengumumkan keputusan besar: berhenti menjual produk fisik di marketplace mereka. Kok bisa, sih? Yuk, kita bahas perjalanan Bukalapak dari awal berdiri sampai akhir yang mengejutkan ini!

Sejarah Bukalapak

Bukalapak didirikan pada tahun 2010 oleh Achmad Zaky, bersama dua temannya, Nugroho Herucahyono dan Muhammad Fajrin Rasyid. Misinya sederhana: membantu UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia untuk bisa “go online.”

Di awal perjalanannya, Bukalapak fokus menjadi platform jual-beli untuk semua orang. Bahkan, dulu tagline mereka terkenal banget: “Jual Beli Online Aman dan Terpercaya.” Mereka sukses besar dengan merangkul pedagang kecil dan membuka jalan bagi mereka ke dunia digital.

Kesuksesan Bukalapak

Pada puncak kejayaannya, Bukalapak berhasil menarik jutaan pengguna aktif. Di tahun 2021, mereka bahkan mencatat rekor dengan IPO (Initial Public Offering) di Bursa Efek Indonesia, dan nilai kapitalisasinya mencapai Rp 87 triliun! Saat itu, Bukalapak dianggap sebagai salah satu “decacorn” paling menjanjikan di Asia Tenggara.

Omzet Bukalapak juga gak main-main. Di tahun 2023, mereka melaporkan pendapatan mencapai Rp 3,2 triliun, meskipun tetap mengalami kerugian karena investasi besar-besaran untuk bersaing dengan pemain lain.

Kenapa Bukalapak Berakhir Tragis?

Bukalapak bukan satu-satunya pemain di pasar e-commerce Indonesia. Kompetisi yang sangat ketat dengan Tokopedia, Shopee, hingga pendatang baru seperti TikTok Shop, membuat Bukalapak harus berjuang ekstra keras.

Berikut alasan utama kenapa Bukalapak akhirnya “angkat tangan” di bisnis produk fisik:

  1. Persaingan Ketat
    Shopee dengan promo gratis ongkirnya, Tokopedia dengan ekosistem Gojek-nya, dan TikTok Shop yang viral banget, membuat Bukalapak sulit bersaing. Konsumen lebih memilih platform yang menawarkan harga termurah atau promosi besar-besaran.
  2. Strategi Fokus yang Salah
    Bukalapak mencoba menjadi segalanya: marketplace, platform UMKM, hingga fintech. Sayangnya, fokus yang melebar ini membuat mereka kalah saing dalam inovasi di segmen inti mereka, yaitu e-commerce.
  3. Perubahan Kebiasaan Konsumen
    Tren belanja online juga berubah. Banyak konsumen kini lebih suka berbelanja melalui aplikasi yang lebih interaktif, seperti TikTok Shop, daripada marketplace konvensional.
  4. Kerugian yang Berkepanjangan
    Meski omzet mereka besar, Bukalapak terus merugi setiap tahun. Biaya promosi dan operasional yang tinggi membuat mereka sulit bertahan tanpa suntikan dana dari investor.

Langkah Baru Bukalapak

Walaupun marketplace produk fisik mereka tutup, Bukalapak gak sepenuhnya “game over.” Mereka memutuskan untuk fokus ke produk digital, seperti pulsa, token listrik, paket data, dan layanan lainnya.

Langkah ini dianggap lebih realistis karena margin keuntungan dari produk digital jauh lebih besar, dan mereka sudah punya basis pengguna yang loyal.

Pelajaran dari Bukalapak

Cerita Bukalapak ini mengajarkan banyak hal, terutama buat startup dan bisnis lainnya. Kompetisi di dunia digital memang gak mudah, dan inovasi harus terus dilakukan agar tetap relevan di pasar.

Akhirnya, kita bisa belajar bahwa kejayaan di dunia bisnis gak selalu abadi. Tapi yang penting, tetap adaptif dan berani mengambil keputusan besar, seperti yang dilakukan Bukalapak sekarang.

Jadi, gimana menurut kalian? Apakah Bukalapak masih punya peluang comeback, atau ini akhir dari perjalanan mereka?

By Medhy

Leave a Reply